tulisan dari bung Gilang
Mahesa. kualitasnya luar biasa.
penuh makna dan fakta tentunya.
Cobalah Melihat Lebih Dekat :
Catatan Akhir yg Panjang Soal
Sepakbola Kami
“ …… mengapa bintang bersinar,
mengapa air mengalir, mengapa
dunia berputar, coba melihat lebih
dekat dan kau pun akan mengerti
….. “
Beberapa orang dari kita mungkin
masih ingat dan sangat akrab
dengan penggalan lagu Lihatlah
Lebih Dekat dari Sherina tersebut,
sebuah lagu yang sangat cantik dan
inspiratif.
Minggu ini adalah minggu yang
cukup menentukan terkait dengan
masa depan sepakbola Indonesia.
Di satu sisi PSSI terus
mengupayakan rekonsiliasi dengan
klub anggota sebelum tanggal 18
Maret 2012 dengan mengundang
seluruh klub anggota PSSI yang saat
ini bermain di kompetisi di luar
struktur Federasi, pertemuan yang
diharapkan dapat melahirkan jalan
keluar yang terbaik supaya klub
anggota dapat kembali ke ‘rumah
sepakbola’ kami dengan damai,
sedangkan di sisi lain KPSI ( sebuah
organ yang tidak dikenal dalam
struktur sepakbola Indonesia dan
Dunia ) terus mengupayakan
sebanyak mungkin anggota PSSI
bisa menghadiri acara yg
dinamakan oleh mereka sebagai
Kongres Luar Biasa ( KLB ) dengan
harapan semakin banyak anggota
resmi PSSI yang hadir ( walaupun
tidak memiliki hak suara sesuai
dengan statuta PSSI ) akan
menguatkan posisi tawar mereka
baik kepada PSSI, AFC, FIFA dan
Pemerintah Indonesia. Tentunya
dengan posisi tawar ini akan
dimanfaatkan betul untuk
memuluskan agenda ‘terselubung’
kelompok lama dgn label KPSI
untuk kembali menguasai sendi –
sendi persepakbolaan tanah air
yang sempat hilang dari
genggaman tangan mereka pasca
Kongres Luar Biasa PSSI di Solo
tahun 2011 lalu.
Catatan akhir ini mencoba
memberikan sebuah presfektif
untuk melihat lebih dekat akar
persoalan kisruh tersebut, mohon
maaf jika kemudian ada yang tidak
berkenan dan berbeda pendapat
dengan tulisan ini, semoga
perbedaan tersebut tetap bisa
menghasilkan sebuah kebaikan bagi
sepakbola kita di masa yang akan
datang. Mohon maaf juga tulisan ini
sangat panjang, karena saya
berharap ini adalah tulisan terakhir
soal kisruh sepakbola kita.
Saya akan memulai dari sebuah
fakta bahwa disukai ataupun tidak,
PSSI di bawah kepemimpinan
Djohar Arifin adalah sebuah
federasi sepakbola yang legal diakui
oleh pemerintah Republik Indonesia
dan Dunia sebagai Federasi
Sepakbola Tertinggi satu-satunya di
Indonesia, artinya hanya PSSI-lah
yang memiliki kekuatan hukum
untuk melakukan berbagai macam
aktivitas dan pengelolaan sepakbola
di Indonesia. Sebagai bukti dari hal
ini adalah soal Persipura yang lebih
memilih KPSI sebagai induknya saat
ini, ternyata untuk bisa berlaga di
Kualifikasi Liga Champhions Asia
faktanya tetap membutuhkan
rekomendasi dan peran PSSI untuk
mendaftarkannya ke AFC, dan
bukan oleh KPSI.
Sebelum Kompetisi PSSI level 1
digulirkan, sebenarnya tidak ada
konflik yang cukup signifikan yang
menghambat serta mengganggu
program kerja PSSI. Semua masih
berjalan normal dan semua masih
mendukung program yang
diselenggarakan oleh PSSI.
Terbukti, PSSI secara serius
mempersiapkan dirinya untuk dua
event besar yang akan diikuti, Pra
Piala Dunia dan Sea Games.
Dengan waktu persiapan yang
sangat mepet dan adanya indikasi
sabotase terkait persiapan Team
Nasional PPD, tapi PSSI berhasil
membentuk team nasional yang
cukup baik yang berhasil lolos dari
fase kualifikasi dan lolos masuk ke
fase grup Asia. Perlu dicatat oleh
kita semua, di gelaran PPD
sebelumnya Indonesia gagal masuk
ke fase kualifikasi setelah
dipertandingan awal pra-kualifikasi
dikalahkan Suriah dengan aggregat
2 – 10 ( kalah 1 – 3 di GBK dan 1 –
7 di Suriah ).
Team Sea Games pun bisa
dibangun dengan cukup baik,
talenta muda masa depan
Indonesia bisa bergabung dibawah
komando Rahmad Darmawan,
bahkan seorang Andik Vermasyah
yang sebelumnya tidak bisa
dipanggil team nasional di jaman
Alfred Riedl karena bermain di
kompetisi yang tidak berada di
bawah federasinya, bisa bergabung
dan bahkan menjadi salah satu
bintang muda yang bersinar. Kita
juga melihat tidak ada yang dianak
emaskan di era PSSI Djohar Arifin,
bahkan pemain sekelas Irfan
bachdim pun jika tidak layak
dipanggil team nasional maka tidak
akan di panggil.
Semuanya baik – baik saja dan kita
menyimpan sebuah asa dan
harapan bagi masa depan
sepakbola Indonesia setelah
melihat penampilan Garuda Muda
di Sea Games walaupun tidak
berhasil menjadi juara pertama.
Masalah baru muncul ketika PSSI
akan menggulirkan kompetisi
sepakbola di dalam negeri.
Dimulai dengan adanya surat dari
AFC terkait kewajiban klub
profesional Indonesia untuk
melaksanakan standar kualifikasi
yang telah ditetapkan AFC tahun
2008. AFC tiba – tiba mengirimkan
team verifikasi dan penilai untuk
melakukan grading licensi terhadap
klub – klub profesional Indonesia.
Di titik tersebut, PSSI akhirnya
membuka pendaftaraan ulang
seluruh klub profesional anggota
PSSI untuk mengikuti verifikasi yang
dilakukan oleh AFC. Proses ini
berjalan seiring dengan proses
normalisasi 2 kompetisi yang saat
itu dimiliki sepakbola Indonesia
( LSI dan LPI ), anggota LPI yang
dulunya menjadi anggota PSSI
dipersilahkan mengikuti proses
verifikasi, sedangkan klub LPI yang
bukan anggota PSSI dipersilahkan
melakukan 3 opsi – menjadi
anggota PSSI dan mengikuti
kompetisi dari level bawah,
melakukan proses merger dengan
anggota PSSI atau membubarkan
diri - , sangat adil menurut saya.
Maka terkumpullah 36 klub
profesional yang akan diverifikasi
AFC, beberapa diantaranya adalah
klub anggota PSSI yang dalam
proses managerial klubnya
melakukan proses merger dengan
klub LPI dengan skema pembagian
saham kepemilikan klub ( Persiraja,
Persiba Bantul, PSIS misalnya ),
memang kemudian muncul adanya
dualisme kepemilikan klub – Persija
dan Arema -, tapi mayoritas klub
pada saat itu tetap tunduk taat dan
patuh dengan apa yang akan
dijalankan oleh PSSI sebagai
federasi.
Masalah muncul ketika hasil
verifikasi menunjukkan beberapa
klub besar memiliki rangking yang
sangat mengkhawatirkan, bahkan
mayoritas klub profesional di
Indonesia memiliki nilai yang
sangat rendah jika menggunakan
standar licenci FIFA/AFC.
Akhirnya PSSI berkompromi untuk
tidak menggunakan hasil verifikasi
tersebut sebagai dasar penentuan
levelisasi klub. Maka, sesuai dengan
kewenangan EXCO PSSI di dalam
Statuta Pasal 37, dilakukan
kebijakan penentuan jumlah
peserta dan nama kompetisi musim
2011-2012. Maka dengan semangat
kebersamaan dan rekosiliasi
dijadikanlah hasil kompetisi
sebelumnya sebagai dasar
ditambah penyesuaian dengan
memasukan 4 klub anggota PSSI yg
sempat bermain di LPI sebagai
peserta level 1 ditambah 1 klub yg
dinilai termarjinalkan keputusan
PSSI era sebelumnya dan 1 klub
yang dipilih EXCO berdasarkan
kepentingan pembinaan dan
sejarah. Maka dimulailah era baru
di Kompetisi Indonesia.
Sebagai pemegang otorita tertinggi,
PSSI memiliki hak untuk
menentukan siapa operator
penyelenggara kompetisi. Di tahap
awal PSSI meminta laporan dan
akan melaksanakan audit
independen terhadap PT. Liga
Indonesia sebagai satu - satunya
operator kompetisi sepakbola di
Indonesia saat itu.
Nah di titik inilah dimulai kisruh
terjadi lebih besar. PT. LI menolak
memberikan laporan kepada PSSI
dan hanya akan memberikan
laporan kepada pengurus lama era
Nurdin Halid, sesuatu yang sangat
janggal dan aneh dalam etika
organisasi dimanapun. Lebih aneh
lagi ketika PT. LI menolak proses
audit yang akan dilakukan secara
independen oleh PSSI dengan
menggunakan lembaga audit
international yang telah terbiasa
melakukan audit kepada klub besar
dunia dan liga profesional di
berbagai negara di dunia. Padahal
posisi PSSI terhadap PT. LI adalah
pemberi mandat dan pemilik
mayoritas saham sesuai dengan
Surat Keterangan kepemilikan
Saham dari Kementeri Hukum dan
HAM Republik Indonesia.
Kisruh semakin besar ketika
kemudian PSSI akhirnya
memutuskan membentuk pengelola
kompetisi baru bernama PT. LPIS
sebagai cara emergency exit
dikarenakan mengejar tengat waktu
kompetisi yang diminta oleh AFC.
Kisruh semakin besar ketika dalam
pelaksaan bidding hak siar
kompetisi, MNC Group keluar
sebagai pemenang dengan
penawaran tertinggi dan fantastis
untuk ukuran bidding sepakbola
dalam negeri, yang membuat
ANTV / Viva Group kehilangan hak
siar dan hak komersilnya terhadap
pelaksanaan sepakbola di
Indonesia.
Dititik inilah kemudian bentuk
perlawanan real mulai dilakukan.
Oleh siapa ? oleh kelompok yang
secara de fakto dan de jure telah
kehilangan hak pengelolaan
kompetisi sepakbola di Indonesia.
Kehilangan hak sebagai operator
dan kehilangan hak secara
komersil. Saya secara jujur melihat
bahwa dua hal itulah sebenarnya yg
menjadi penyebab utama dan
penyebab sesungguhnya kisruh ini
terjadi menjadi lebih besar. Kita
coba bedah yah.
PT. LI sebagai operator kompetisi
selama ini pasti merasa ‘ketakutan’
jika kemudian dapurnya diperiksa
oleh auditor independen yang tdk
bisa mereka kendalikan, untuk
menghadang proses ini maka isu
soal pengalihan 99% saham dari
PSSI kepada Klub dijadikan sebagai
alat dan tameng. Sayangnya mereka
lupa, proses pengalihan saham
tersebut diatur oleh UU Perseoran
Terbatas bukan diatur oleh sebuah
putusan kongres. Itulah kenapa
kemudian PT. LI tidak mau
menghadiri sidang pertama gugatan
kepemilikan saham oleh PSSI
kepada PT. LI karena secara hukum
terkait soal ini mereka sangat lemah
dan pasti kalah. Jika meraka kalah
yang sudah jelas tergambar adalah
PSSI akan mengambil alih PT. LI
dan berhak menunjuk jajaran
direksi baru, mengaudit bahkan
kemudian memposisikan pailit
perusahaan. Hal yang paling
mungkin dilakukan oleh mereka
saat ini adalah menghindari sidang
selama mungkin dengan harapan
PSSI dapat digulingkan oleh sebuah
proses KLB. Harapan mereka jika
KLB berhasil dan PSSI digulingkan,
kepentingan mereka akan aman di
era PSSI baru versi KLB KPSI,
karena PT. LI termasuk menjadi
bagian bahkan sponsor utama
proses KLB tersebut.
Kenapa PT LI berusaha
mempertahankan dirinya, karena
ada kepentingan komersil disana
yang menyangkut putaran uang
besar dan kepentingan besar yang
harus diselamatkan dan dijaga.
Dengan cara apa kepentingan
komersil tersebut harus tetap
terjaga dan diamankan ? kompetisi
harus tetap dipaksa digulirkan oleh
PT. LI sehingga acara sepakbola
acara utama salah satu TV nasional
masih tetap bisa dilakukan. Jika
acara tersebut masih bisa dilakukan
oleh TV nasional tersebut, maka
secara komersial nilai uang masih
tetap bisa jalan dan aman, karena
ada iklan yang masih bisa masuk
sebagai pendapatan perusahaan.
Jika pendapatan uang tetap bisa
masuk maka cashflow uang
perusahaan dapat tetap terjaga ,
efeknya nilai saham di bursa saham
juga akan bisa terjaga, jika nilai
saham bisa terjaga, perusahaan
akan memiliki uang yang cukup
untuk dapat digunakan membayar
hutang, menutup biaya operasional
atau bahkan ekspansi usaha.
Disinilah kemudian PT. LI dijadikan
alat untuk merayu sejumlah klub
yang kebetulan memiliki keterikatan
baik secara bisnis atau politik dan
basis pendukung yang besar untuk
melakukan pemberontakan kepada
PSSI dengan tidak mengikuti
kompetisi yang diselenggarakan
oleh PSSI.
Maka kemudian muncullah
dualisme kompetisi. Apakah sama
dualisme kompetisi ini di era
Nurdin dengan era Djohar ?
menurut saya tidak persis sama
bahkan sangat berbeda nilainya,
walaupun keduanya tetap saya
pandang melanggar ketentuan
Statuta FIFA.
Pemberontakan LPI di era Nurdin
jelas karena memperjuangkan
sepakbola yang bersih dan tidak
menggunakan APBD, bahkan ketika
awal akan digulirkan pesertanya
juga bukan merupakan anggota
PSSI, klub nya adalah klub baru
( ada Bandung FC, Bali Devata, Real
Mataram dll ), jadi sebenarnya
tidak mengganggu kompetisi yang
diselenggarakan oleh PSSI, kalaulah
kemudian ada 4 klub anggota PSSI
yang bergabung, hal ini karena soal
pilihan akan sebuah jalur
perjuangan. Ke 4 klub ini paham
akan konsekuensi pilihan tersebut,
mereka memilih LPI dikarenakan
ingin melakukan perlawanan
dengan membangun sebuah kultur
sepakbola baru yang lebih bersih
terutama dengan tidak lagi
menggunakan dana APBD yang
seharusnya untuk masyarakat
banyak. Coba kita bandingkan
dengan 18 klub anggota PSSI yg
hari ini dipaksa melakukan
perlawanan oleh PT LI dan KPSI.
Pemberontakan di era Djohar lewat
PT LI dan ISL nya hanya
memperjuangkan 3 hal saja yaitu
soal keberatan akan keberadaan 6
klub, soal pembagian saham PT. LI
dan soal putusan kongres Bali yang
didalamnya salah satunya
memperbolehkan klub
menggunakan dana APBD sampai
2014. Silahkan dinilai sendiri
apakah ketiga hal ini cukup
memiliki sebuah nilai moral bagi
sebuah perlawanan bahkan
djadikan alasan untuk sebuah KLB.
Bagaimana bisa disebut memiliki
nilai moral jika kemudian PT LI dan
ISL sendiri memasukan 6 team yg
tidak memiliki hak bertanding di
level tertinggi liga bahkan ada klub
yang sudah lebih dari 2 musim
tidak aktif dalam kompetisi PSSI.
Lalu soal saham, klub harusnya
tahu bahwa proses audit yg
diperjuangkan PSSI akan
memperlihatkan seberapa sehat
atau tidak sehatkan sebuah
perusahaan, jangan sampai saham
yang nanti akan dimiliki klub adalah
saham kosong tanpa makna karena
tidak memiliki nilai jika posisi
perusahaan terus berada dalam
posisi rugi.
Jadi dari paparan panjang diatas,
bisa kita lihat apa sebenarnya yang
sedang terjadi di sepakbola
Indonesia hari ini. Tidak ada
dualisme di PSSI, PSSI yang legal
secara hukum hanya PSSI di bawah
Djohar Arifin , yang ada hari ini
adalah soal dualisme kompetisi.
Jadi jika Pemerintah atau KONI
ingin menyelesaikan persoalan
kisruh sepakbola Indonesia, lakukan
rekonsiliasi antara PSSI dengan
klub anggota yang memberontak
dengan tidak menyertakan PT. LI
yang secara hukum kepemilikan
sahamnya masih milik PSSI tapi
sedang dalam proses persidangan
di Pengadilan dan tidak pula
menyertakan KPSI, sebuah
organisasi yang tidak memiliki
kekuatan hukum apapun dalam
struktur PSSI, AFC dan FIFA.
Perbuatan PT . LI dan KPSI yang
telah memecah belah sepakbola
Indonesia mengakibatkan sepakbola
kita terjatuh kedalam kisruh yang
berkepanjangan. Lihatlah team
nasional kita, sebelum adanya
perlawanan dari PT LI dan KPSI,
semua pemain sepakbola kita bisa
bertanding untuk team nasionalnya.
Dalam 7 kali laga Team Nasional
kita di PPD, kita masih bisa melihat
Gonzales, Firman Utina, Hamka
Hamzah bahkan Bambang
Pamungkas membela panji Garuda.
Kita juga masih melihat Titus Bonai,
Wanggai, Egi membela Merah Putih
di Sea Games. Jika saja tidak ada
pemberontakan tersebut saya yakin
pemain yang berada di lapangan
ketika Indonesia melawan Bahrain
pasti bukan pemain yang kemarin
bertanding, Garuda Muda yang
bertanding di Brunei pun pasti akan
memiliki komposisi pemain yang
berbeda. Kita harus jujur, mungkin
hari ini karena soal regulasi , team
nasional yang kita miliki adalah
yang terbaik dalam kondisi serba
tidak biasa tapi jujur bukan yang
terkuat yang seharusnya bisa kita
miliki, karena kekuatan kita saat ini
sedang tercerai berai.
Bagaimana jalan keluar dari kisruh
ini ?
Yang jelas dalam proses ini posisi
Klub, Pemain dan PSSI sebagai
representasi sepakbola Indonesia
harus menjadi prioritas untuk
diselamatkan.
Bagaimana dengan dualisme
kompetisi ? karena sudah berjalan
hampir setengah musim, maka
biarkanlah kedua kompetisi level 1
ini berjalan sampai selesai tapi
berada di bawah otoritasi, advokasi
dan wewenang PSSI. Hal ini akan
menjamin hak pemain dan official
pertandingan karena ada Komisi
Disiplin dan Banding serta Komite
Wasit yang bisa mengawal jalannya
kompetisi. Jadi akan ada 2 ‘kamar
kompetisi’, IPL yang dikelola oleh
LPIS dan ISL yang dikelola langsung
oleh PSSI. Keberadaan PT LI
sementara ini di hold menunggu
hasil putusan sidang pengadilan
terkait dengan persoalan
kepemilikan saham. Jika pengadilan
memenangkan gugatan PSSI, maka
PSSI bisa melakukan RUPS untuk
merubah komposisi saham ataupun
komposisi direksi dan menetapkan
apakah PT. LI kembali menjadi
operator ISL. Jika sebaliknya maka
PSSI harus tetap meggunakan PT. LI
sebagai operator untuk ISL tetapi
dalam naungan PSSI.
Diakhir musim kompetisi, juara
dari masing – masing kamar akan
diadu untuk memperebutkan jatah
klub yang akan mewakili Indonesia
di LCA dan AFC Cup. Lalu dibuatkan
kebijakan oleh EXCO PSSI terkait
dengan komposisi peserta liga
tahun depan, kalaulah misalnya
diputuskan 16 team, maka hanya 6
team dengan peringkat terbaik di
masing – masing kamar yg berhak
tetap di level 1, sisanya
terdegradasi dan dari Divisi Utama
PSSI promosi 4 team. Komposisi
berbeda bisa dibuat sesuai dengan
putusan berapa jumlah peserta liga
musim depan oleh EXCO PSSI
sesuai dengan kewenangan yang
diatur oleh Statuta.
Tahun depan liga bisa berputar
dengan lebih normal, IMHO
sebaiknya keberadaan nama ISL,
IPL, PT LI dan PT. LPIS di tiadakan
saja. Liga tahun depan bisa jadi
bernama I-League ( Indonesia
League ) misalnya dengan level
kompetisi – Divisi 3, Divisi 2, Divisi
1, Divisi Champhionship, Divisi
Premiership – misalnya. Siapa
operatornya ? PSSI bisa meleburkan
kedua operator yang sudah ada
menjadi sebuah perusahaan baru
yang lebih profesional dengan
nama baru, PT. Sepakbola
Indonesia Gemilang misalnya
( nama itu kan do’a siapa tahu
sepakbola kita beneran jadi
gemilang he he he )
Soal hak siar, PSSI bisa saja
menjadikan ANTV tetap sebagai
pemilik hak siar ISL tahun ini asal
ANTV bisa memenuhi
kewajibannnya setara dengan yang
diberikan oleh MNC Group sebagai
pemenang bidding kompetisi PSSI
tahun ini. Hal ini perlu dilakukan
untuk menjamin kepastian hak klub
sebagai bagian dari proses
pembagian nilai hak siar. Di kamar
IPL hal ini sudah sangat jelas
nilainya, hal berbeda kita temukan
di klub yg bernaung di ISL. Jika
ANTV tidak sanggup, maka menjadi
hal yang normal jika kemudian hak
siar diberikan kepada media yg bisa
memberikan hak lebih baik kepada
klub dan PSSI dalam hal ini MNC
Group.
Bagaimana dengan klub yang pecah
menjadi dua seperti Persija, PSMS
dan Arema ? dipaksa untuk merger
dengan skema pembagian saham
yang jelas untuk masing – masing
pemilik dengan cara berapa banyak
share modal yang bisa diberikan
untuk klub. Dengan pola ini maka
klub akan memiliki kecukupan
modal untuk membayar gaji
pemain dan operasional klub.
Bagaimana dengan pemain,
management baru bisa melakukan
seleksi pemain dengan benar dan
adil. Akhirnya pemain dan klub
tetap bisa diselamatkan.
Jika hal ini bisa dilakukan saya rasa
menyelesaikan kisruh kompetisi
sepakbola kita tidak akan terlalu
sulit, mudah saja asalkan sekali lagi
rekonsiliasi tersebut tetap
mempertimbangkan pemain, klub
dan PSSI sebagai representasi
sepakbola Indonesia dan bukan
yang lain dan tetap
mempertimbangkan koridor aturan
yang berlaku.
Bagaimana posisi KPSI ? mohon
maaf tapi saya rasa sebaiknya di
buang saja, mereka sarat dengan
kepentingan ( bahkan kepentingan
politik ) yang bahkan tidak ada
hubungannya dengan kepentingan
pemain, klub dan PSSI. Lihat saja
misalnya ketika ada klub dan
pemain yang memilih berada di
KPSI saat ini sedang kesulitan 3
bulan menggaji pemainnya mereka
malah asik dengan agenda KLB –
nya dan semangat menyerang PSSI
diberbagai forum, nggak peduli
dengan apakah klub dan pemainnya
mati perlahan, atau coba kita lihat
dengan baik bagaimana mereka
juga lebih senang menjadikan
Persipura sebagai alat bagi
kepentingan mereka dibandingkan
benar-benar serius
memperjuangkan Persipura untuk
menang di Final Panel CAS
sehingga memiliki hak untuk
bermain di putaran grup Liga
Champhions mewakili Indonesia.
Lalu bagaimana dengan PSSI ? kita
juga tidak boleh membiarkan PSSI
melakukan kesalahan yang sama
yang dibuat oleh PSSI di era
sebelumnya, mereka harus dipaksa
bekerja dengan benar dan
bertanggung jawab. Kita harus
kawal program kerja mereka yang
sebenarnya sangat bagus untuk
dapat di implementasikan dengan
benar. Jika diantara mereka ada
yang tidak mau bekerja dengan baik
bagi sepakbola negeri ini, mereka
kita persilahkan untuk
mengundurkan diri dengan
terhormat sesuai dengan koridor
yang disediakan oleh regulasi.
PSSI mungkin melakukan kesalahan,
tapi mereka juga memiliki sebuah
kebenaran, PSSI tidak sepenuhnya
salah dan tidak sepenuhnya juga
benar tapi saya yakin dengan
bantuan kita semua mereka masih
bisa diperbaiki, tapi IMHO KPSI
dengan berbagai macam cara dan
prilakunya menurut saya
sepenuhnya salah dan tidak ada
satu alasanpun mereka untuk di
bela.
Hari rabu ini kabarnya PSSI akan
bertemu dengan klub ISL, saya
hanya berharap semoga saja ada
titik temu dan terang yang baik bagi
sepakbola Indonesia dari
pertemuan PSSI dengan Klub ini,
mungkin syair dari lagu “ Di bawah
Tiang Bendera” nya bang Iwan Fals
bisa jadi renungan buat kita semua
terutama buat PSSI dan Klub
anggotanya :
kita adalah saudara
dari rahim ibu pertiwi
ditempa oleh gelombang
dibesarkan jaman
di bawah tiang bendera
dulu kita bisa bersama
dari cerita yang ada
kita bisa saling percaya
yakin dalam melangkah
lewati badai sejarah
pada tanah yang sama kita berdiri
pada air yang sama kita berjanji
karena darah yang sama jangan
bertengkar
karena tulang yang sama usah
berpencar
Indonesia.. Indonesia
mari kita renungkan
lalu kita bertanya
benarkah kita manusia
benarkah bertuhan
katakan aku cinta kau
semoga tulisan panjang ini adalah
tulisan terakhir saya soal kisruhnya
sepakbola kami, semoga ! - FIN
@gilang_mahesa
tidak akan lelah mencintai
Indonesia