Berlaku Bijak Setelah Membaca Dengan Mengirimkan Komentar

Rabu, 10 Juli 2013

Mereka Hanya Menuntut Haknya, Tuan

thumbnail

Sejak kapan menuntut hak dianggap sebagai "perilaku memalukan"? Sejak Hinca Pandjaitan dan Joko Driyono kembali jadi pengurus PSSI.

Seperti yang sudah diketahui, beberapa pemain PSMS Medan yang bermain di bawah PT Liga Indonesia beberapa waktu terakhir sedang memperjuangkan haknya di Jakarta, tepatnya di kantor PSSI. Mereka meminta PSSI untuk membantu usaha mereka mendapatkan 10 bulan gaji yang tidak dibayarkan manajemen PSMS.

Saya sempat melihat mereka duduk-duduk sambil membentangkan spanduk di depan kantor PSSI beberapa saat jelang pertandingan Radja Nainggolan cs. Untuk bertahan hidup, mereka bekerja serabutan: dari jadi tukang parkir sampai menjaga toilet umum.

Apa yang mereka dapat? Ancaman sanksi dari Komisi Disiplin.

Simaklah pernyataan yang diberikan Joko Driyono terkait tuntutan pemain-pemain PSMS itu: "Silakan laporkan, tidak perlu semua itu diekspresikan. Itu malah buat malu sepakbola. … Jangan bersikap begitu, main terus meskipun tidak digaji, tapi ujung-ujungnya protes ke PSSI. Kalau mau cinta profesi jadikanlah sepakbola kebanggaan meski gaji tidak turun-turun. Tapi kalau tidak mau tidak digaji, lebih baik setop bermain untuk klub itu, jangan menggadaikan profesionalisme.”(Metrotvnews, 29 Juni 2013)

Pernyataan Hinca Pandjaitan malah lebih menyedihkan lagi: "Kami menilai pemain PSMS itu telah berperilaku buruk. Mereka sudah menyampaikan sesuatu dengan kata-kata kasar secara tulisan. Itu adalah tindakan tidak lazim. Itu tindakan melenceng jauh. Karena itu tidak dalam kategori jalan yang disediakan sepakbola. Pemain tidak boleh mengotori kolomnya sendiri. Menyebarkan informasi buruk. Kami di sini masuk dalam wilayah-wilayah perilaku buruk pemain. Yang mengambil cara di luar mekanisme olahraga."

Saya tidak tahu apa yang dimaksud Joko Driyono dengan "menggadaikan profesionalisme". Saya semakin tidak tahu yang dimaksud Joko Driyono dengan "membuat malu sepakbola".

Dalam bayangan saya, jika seorang pemain ikut kampanye politisi ketimbang latihan itu baru patut diduga "menggadaikan profesionalisme". Dan mana yang lebih memalukan sepakbola Indonesia sebenarnya: pemain PSMS menuntut haknya atau tersiarnya kabar ke dunia internasional ihwal Diego Mendieta yang tak digaji dan harus menemui ajalnya secara mengenaskan dan tak terurus. Joko Driyono pasti tahu Diego Mendieta main di liga yang mana waktu itu.

Menyedihkan rasanya mendengar Joko bisa berkata "jadikanlah sepakbola kebanggaan meski gaji tidak turun-turun”. Pernyataan macam itu lebih tepat diucapkan oleh seorang major di tribun atau pentolan suporter, bukan oleh orang yang bertahun-tahun mengampu jabatan sebagai Chief Executive Officer (CEO) liga, yang dari namanya saja sudah jelas bertanggungjawab [salah satunya] dalam soal aspek bisnis sepakbola.

Saya tambah pusing ketika mencoba memahami pernyataan Hinca tentang "menyebarkan informasi buruk", apalagi untuk pernyataannya tentang "mengotori kolamnya sendiri".

Apakah Hinca ingin agar setiap pemain yang tidak dipenuhi haknya terus hanya duduk diam-diam saja, sampai akhirnya mati dengan sengsara seperti Diego Mendieta atau Bruno Zandonadi? Bukankah "kolam" sepakbola Indonesia itu akan kotor oleh kelakuan lancung pengaturan skor, pemukulan wasit, tim bertanding hanya dengan 7 pemain dan bukan oleh pemain yang menuntut haknya?

Jika Joko Driyono dan Hinca Pandjaitan marah atau merasa malu karena para pemain PSMS berdemo di depan kantor PSSI dan bukan menggunakan "mekanisme olahraga", memangnya "mekanisme olahraga" apa yang sudah diberikan pada Persis Solo versi PT LI yang membiarkan Diego Mendieta mati dengan menyedihkan? Sanksi? Persis Solo versi PT LI ini bahkan dengan mudah lenggang kangkung ikut kompetisi Divisi Utama PT LI musim ini -- sekan mereka tak pernah "mengotori kolam sepakbola" [meminjam istilah Hinca] dan seakan tak pernah "bikin malu sepakbola" [dalam istilahnya Joko Driyono].

Bagi Hinca atau Joko Driyono, "mekanisme olahraga" itu mungkin salah satunya adalah [kembali mengutip Joko] "kalau tidak mau tidak digaji, lebih baik setop bermain untuk klub itu". Lha, memangnya kalau mogok bermain lantas gaji turun? Hampir semua pemain tahu, jika mereka mogok bermain dan kabur dari klub, urusan tunggakan gaji pasti akan lebih sulit lagi diurus.



Orang dengan status media-darling [bahkan sekarang punya media sendiri] seperti Bambang Pamungkas pun sampai sekarang entah apakah tunggakan gajinya sudah dilunasi Persija atau belum begitu melakukan perlawanan sesuai "mekanisme olahraga" ala Joko Driyono ini. Apalagi pemain dari level "anonim" macam pemain-pemain PSMS ini.

Kebobobrokan sepakbola Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini memang sudah luar biasa. Maka cara-cara biasa boleh jadi memang tak akan cukup melumerkan hati para pejabat klub atau federasi. Bahkan kematian seorang Mendieta pun tak cukup bikin mereka jera.

Diego Mendieta adalah tugu peringatan: bahwa sepakbola Indonesia pernah melakukan kezaliman yang tak terperi. Dan Mendieta juga kasih contoh pedih bagaimana caranya agar tunggakan gaji dilunasi: mati dulu, tunggakan pasti dilunasi.

Ataukah kita semua sudah lupa dengan Mendieta. Bolehlah kita bertanya, berapa panjang umur ingatan mereka sebenarnya?


===

* Tulisan adalah opini pribadi penulis. Akun twitter penulis @zenrs 

sumber: http://sport.detik.com/aboutthegame/comment/2013/07/05/131848/2293663/425/mereka-hanya-menuntut-haknya-tuan?b991104com